Puisi ini bercerita tentang masa lalu kami anak-anak santri yang berandal, mengelanai malam dengan status turis illegal karena tidak mendapat visa dari bagian keamanan pondok pesantren kami. Masa yang tak patut dibanggakan, puisi ini cuma mengenangi bersama kerinduan kepada para sahabat. Mukdan, Ahmad, Nasih Ulwan, Agi, Hanif dan beberapa temen lagi yang sering kelayapan.
Satu
Ai…
Sahabat
Berjuta rasa rindu dalam kalbu ini;
sudah luap, luber aliri samudra.
Masihkah kau ingat?
Sesaat, tiga ratus enam puluh detik waktu kita berjingkrak bersama,
atau malam ketika hilang dari peredaran.
Menerobos pagar batas santri manusiawi dan
susuri anak kali musiman.
Langkah kita yang dulu gegas kelanai malam;
dijalanan dan kau histeris hentikan laju sedan
“ngompreng pak…! Ngompreng…!” Ai, aku senyumi
masa lalu itu.
Satu bataliyon santri berandal,
Mencari jati diri di posko-posko internet
atau sekedar lepas lelah diwarung-warung nasi kucing
Kulihat wajah bahagia kita yang disinari temaramnya
cahaya lilin yang.
Dua
Ai…
Syair ini barangkali hanya aku dan kau pahami.
Rindu, oh rindu
Kapan kan bersua,
diri ini mulai menua dimakan oleh waktu.
Tawamu riang, memecah cacah sunyi ibukota.
Jepara, bumi yang jadi saksi.
Walau diam, dirinya bersenyum masam lihat tetingkah
kita, sahabat.
Ini sudah jam duabelas malam
Jam dinding berderak, jarum detik berdetak.
Bahagia tak kenal malam dan siang, bahagia telah
bungkam rasa katuk.
Mari kita lanjutkan sandiwara ini.
Esok subuh kita pulang dan
kembali bertobat.
by Hamam 29 Juli 2014